Advertisement

Advertisement

Cerbung Aliando dan Prilly "Second Meeting" Part 1 (Pertemuan Kedua)



Prilly Winata membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan tangan dan kaki dengan posisi yang masih berbaring di tempat tidur. Lalu ia memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseret-seret ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih menyala kemudian membuka jendela dan mulai merapikan tempat tidurnya.
Ia harus bergegas kalau ia tidak mau terlambat sampai ke kantor. Ia tidak punya waktu untuk menikmati udara pagi yang sejuk dan memanjakan paru-parunya seperti dulu lagi. Prilly tersentak, seperti dulu lagi. Kalau di ingat-ingat kehidupannya yang dulu dengan sekarang benar-benar berbeda. Berputar 180 derajat sejak saat itu, saat dimana kedua orangtuanya meninggalkannya sebatang kara tanpa segenggam harta keluarga yang tersisa.
Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas empat tahun silam. Meninggalkannya bersama hutang salah satu proyek yang sangat menumpuk, ditambah lagi dulunya ia tidak bisa mengendalikan perusahaan milik ayahnya dan semuanya berubah. Tidak ada lagi rumah megah dengan banyak pelayan yang mengelilinginya, sekarang hanyalah sebuah rumah kecil dan sempit yang ada bersamanya. Tidak apa-apa, mungkin takdir memang menuntunnya ke kehidupan seperti ini.
Dengan cepat ia mengambil handuk yang digantung secara sembarang di paku kecil yang menempel di dinding kamarnya. Berlari ke arah dapur untuk segera membersihkan badan. Jangan pikir kalau ia akan mandi di bawah pancuran air hangat apalagi berendam di dalam bathtup yang cukup besar. Oh.. Jangan berpikir begitu. Ini bukanlah kehidupannya yang dulu lagi, sungguh! Ini bukan yang dulu lagi. Ia hanya mandi menggunakan gayung dan air dingin di dalam bak mandi, ia juga hanya memakai sabun murahan dengan harga dibawah lima ribu rupiah.
Tunggu! Ia harus memejamkan matanya mengingat-ingat kemeja sopan dan rok mana yang akan ia pakai hari ini. Tidak ada pilihan untuk mengenakan dress lagi setiap paginya. Setelahnya, menyiapkan sarapan untuk ia santap. Ia akan berangkat untuk melakukan 1 jam perjalanan, menjemput pekerjaannya. Menaiki angkutan umum dan harus rela berdesak-desakkan.
Beberapa menit kemudian Prilly Winata sudah siap dengan seragam kerjanya dan buru-buru memakai stilettonya yang sudah tampak lusuh dan kusam. Ia sama sekali tidak punya uang untuk membeli stiletto yang baru, uang peghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama sebulan saja. Ingat! Hanya sebulan. Harga stiletto yang dulunya terasa murah di pikirannya sekarang malah terasa mahal baginya, bahkan sangat mahal.
Setelah merasa sudah rapi, Prilly keluar dari rumah kecilnya dan mengunci pintu. Kemudian ia berjalan melewati jalan setapak yang becek dan penuh lumpur. Jalan menuju rumahnya memang selalu seperti ini ketika hujan turun dan ia sudah terbiasa, walau terkadang dirinya harus mengumpat ketika stilettonya terendam di dalam kubangan lumpur itu.
Ketika ia sedang berkonsentrasi melewati jalanan setapak yang di penuhi lumpur itu, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia merogoh tasnya dan mengambil ponsel kecil yang sudah terlihat buruk itu kemudian menatap layar ponsel.
"Halo" katanya ketika ponselnya sudah menempel di telinga.
"Halo, Prilly kau ada di mana?" Kata seseorang di seberang sana.
"Aku sedang berangkat bekerja steff, memangnya ada apa?"
"Tidak apa-apa. Cepatlah datang ke halte aku menunggumu di sini,"
Prilly mengerutkan keningnya. "Menungguku? Memangnya ada apa?" Tanyanya dengan kerutan yang masih menghiasi keningnya.
Gadis di seberang sana memutar kedua bola matanya, "Tentu saja untuk mengajakmu berangkat bersama Prilly."
"Oh.. Baiklah, aku akan segera sampai. Tunggu aku sebentar lagi." Prilly baru saja ingin mematikan ponselnya ketika ia baru menyadari sesuatu kemudian mengerutkan keningnya dalam. "Tunggu-tunggu, bukankah kantor tempat kita bekerja berbeda? Lalu kenapa kau mengajakku pergi bersama?"
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu, karena itu cepatlah datang kemari. Aku tidak suka menunggu terlalu lama."
"Iya-iya, aku tahu itu. Aku tahu kau tidak suka menunggu."
"Kalau begitu jangan banyak omong, cepat datang kemari."
"Baiklah." Prilly mematikan sambungan telepon dan memasukkan ponselnya ke tas.
Steffhani Husen gadis keturunan jerman-indonesia ini adalah temannya sejak SMA dulu. Steffi adalah anak dari seorang pengusaha kaya di jerman. Steffi gadis manis berambut cokelat, bermata lancip dengan tinggi normal ini lebih memilih menetap di tempat kelahiran ibunya dan tinggal bersama neneknya. Steffi adalah sahabatnya yang selalu mengerti dan bisa di andalkan. Ia selalu membantu Prilly ketika sahabatnya itu dalam keadaan susah. Prilly berhutang banyak pada Steffi, mungkin kalau tidak ada Steffi entah bagaimana dirinya sekarang.

Cerbung Romantis Aliando dan Prilly Terbaru

Lima belas menit kemudian, Prilly Winata sudah tiba di halte dan mendapati Steffi sedang duduk di dalam mobil. Gadis itu menghadap ke depan dengan tangan yang di silangkan di depan dada. Sama sekali belum menyadari bahwa Prilly sudah ada di dekatnya.
"Steffi?"
Steffi menoleh dan melihat Prilly tersenyum ke arahnya. Ia mengerjapkan mata sekali, dua kali dan tiga kali. Prilly sudah sampai? Lalu kenapa ia tidak menyadarinya? Aisshh..
"Kau sudah sampai. Kalau begitu ayo cepat masuk." Kata Steffi setelah menyelesaikan beberapa pertanyaan yang ada di kepalanya tadi.
Prilly berlari kecil memutari mobil merah milik Steffi dan membuka pintu, kemudian menjatuhkan tubuhnya di jok mobil. Detik berikutnya, Prilly menatap steffi. "Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" Tanyanya. karena biasanya steffi jarang sekali Steffi mengajaknya pergi bersama kecuali untuk menemani gadis itu untuk sebuah urusan.
Steffi menjalankan mobilnya, "tidak apa-apa, sebenarnya tidak ada yang ingin aku bicarakan padamu. Aku hanya malas berangkat kerja sendiri, Dan pertama kali yang ku ingat adalah dirimu." Jelasnya.
Prilly membulatkan matanya, mencoba memasang ekspresi sok galaknya di depan Steffi. "Apa? Kau menipuku? Aisshh kau ini.." Prilly memutar badannya menghadap ke depan dan bersindekap dada.
Steffi tertawa pelan. "Maaf, maafkan aku. Aku berbicara seperti itu agar kau bisa datang ke sini lebih cepat." Jelasnya.
Prilly memandang sinis ke arah Steffi. "Baiklah, mungkin kali ini kau bisa di maafkan."
Steffi secara spontan memeluk Prilly dan membuat Prilly terkejut. "Terimakasih, kau benar-benar temanku yang paling baik."
"Yaya, aku tahu kalau aku memang baik," katanya kemudian raut wajahnya berubah seperti baru menyadari sesuatu dan menatap Steffi. "Tunggu-tunggu, tadi kau bilang kau pertama kali mengingatku? Wahh.. Sepertinya pikiranmu sudah di penuhi dengan diriku."
Steffi melirik sinis Prilly sekilas. "Kau terlalu percaya diri Prilly."
"Oh.. Nona Husen. Sepertinya ini bukanlah sebuah kepercayaan diri saya, tapi memang kenyataan." Katanya kemudian tertawa pelan.
"Berhenti berbicara dengan bahasa baku seperti itu Prilly, aku tidak suka mendengarnya."
"Baiklah-baiklah,"
"Eh, ngomong-ngomong, kau akan pergi ke pesta pernikahan Randy? Kalau kau mau, kau bisa pergi bersamaku. Aku tidak punya teman untuk pergi ke sana, dan kau sepertinya bisa ku andalkan." Kata Steffi langsung, tanpa basa-basi.
Prilly menimang-nimang ajakan Sahabatnya itu. Kemudian kembali menatap steffi. "Aku bisa saja pergi steff, tapi kan kau tahu sendiri kalau aku harus bekerja paruh waktu di kedai es krim milik Rizky."
Selain bekerja sebagai pegawai rendahan di perusahaan yang tidak terlalu besar. Prilly juga bekerja paruh waktu di kedai milik Rizky. Ia bekerja dari pukul empat sore hingga pukul sepuluh malam. Prilly juga terkadang suka mengomel dalam hati. Andai saja gajinya sebagai pegawai rendahan itu cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya, andai saja itu terjadi. Pasti Prilly tidak perlu repot-repot bekerja paruh waktu seperti sekarang ini. Tapi, mau bagaimana lagi, ini lah nasibnya. Nasibnya yang tidak beruntung.
Rizky Hernawan lelaki bertubuh gempal dengan wajah manis dan mata sipit itu adalah temannya sejak SMA dulu, dan Rizky tahu semuanya tentang dirinya. Tentang kejadian empat tahun lalu dan juga tentang... Apa ia harus mengatakannya sekarang? Ohh.. Mungkin tidak sekarang. Ia akan bercerita lain waktu.
Steffi mendengus kemudian detik berikutnya mengubah ekspresi wajahnya menjadi seperti berpikir. "Kau tenang saja, nanti aku akan menelpon Rizky dan meminta izin padanya."
"Tapi steff, kau tahu sendri kalau aku harus bekerja. Aku harus mencari uang."
Steffi sekali lagi mendengus, "ayolah Prilly, sekali ini saja, kau tidak perlu repot-repot memikirkan uang, kau tinggal menhubungiku saja. Kau mengerti?"
"Iya, aku mengerti. Tapi steff..." Prilly terdiam ketika steffi memotong ucapannya secara tiba-tiba.
"Diam Prilly, kali ini kau harus menurutiku."
Prilly menghela napas, tidak ada untungnya juga terus berdebat dengan Steffi, "baiklah."
***
"Kau masih memikirkan gadis itu kak? Oh... Ayolah kak, ini sudah hampir empat tahun dan kau masih belum bisa melupakannya? Apakah kau tidak ingat bagimana depresinya kau dulu ketika ia meninggalkanmu begitu saja? Oh.. Aku benar-benar tidak habis pikir padamu kak." Salsha Alexander yang merupakan adik dari Aliando Alexander ini menjatuhkan tubuhnya asal ke sofa dan memijit pelipisnya.
Aliando Alexander menghela napas, "kau tidak tahu apa-apa Salsha."
"Aku tahu kak, aku tahu semuanya. Dia meninggalkanmu begitu saja dan membuatmu hampir gila. Dia benar-benar gadis tidak tahu malu, aku menyesal telah menyetujui hubungan kalian dulu."
"Diam Salsha! Diam! Berhenti berbicara seperti itu tentang dirinya. Aku yakin, ia meninggalkanku karena sebuah alasan."
"Ya, dengan sebuah alasan dan alasannya itu bisa saja karena ia lebih memilih cinta pria lain kak, kau harus sadar akan hal itu."
"Tidak Salsha, aku yakin bukan karena itu. Aku sangat mengenalnya."
"Oh... Ayolah kak, kau itu seorang milyuner dan kau tampan. Masih banyak wanita cantik di luar sana yang ingin bersanding denganmu."
Aliando Alexander tidak menggubris lagi perkataan-perkataan adik perempuannya itu. Ia hanya diam menatap selembar foto dengan bingkai berwarna putih. Foto itu adalah foto dirinya dan gadis itu saat sedang berjalan-jalan ke dufan. Saat itu mereka meminta bantuan pengunjung lain untuk mengambil foto mereka berdua. Mereka tersenyum lebar ke arah kamera. Sebelah tangan Ali merangkul leher gadis itu dan tangan yang lain memegang es krim vanila. Ali terlihat sangat tampan saat itu. Tampan dan bahagia.
Aliando memejamkan matanya, mengingat kembali beberapa kejadian kecil saat mereka berada di Dufan.
"Apakah kau percaya kalau aku benar-benar mencintaimu?"
Gadis itu mengangguk dan tersenyum lebar kepadanya. "Aku percaya Ali, aku percaya padamu."
"Kalau begitu, jangan pernah tinggalkan aku. Kau mengerti?"
Gadis itu kembali mengangguk dan tersenyum.
"Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu ada di sisimu."
Aliando tersenyum. "Berjanjilah padaku."
"Aku berjanji."
Aliando membuka matanya. Semua kebahagiaan itu hilang begitu saja sejak kejadian empat tahun silam. Kejadian di mana gadisnya meninggalkan dirinya tanpa mengucapkan apapun. Semua janji yang di ucapkan gadis itu hanyalah sebuah omong kosong belaka.
Ia kecewa, jujur ia sangat kecewa hingga bertekad untuk melupakan gadis itu dan menjalani kehidupan baru. Namun, tekadnya itu sama sekali tidak menggubris hatinya. Ia tidak bisa melupakan gadis itu dan tidak akan pernah bisa.
***
Salsha memilih keluar dari ruangan kakaknya sebelum ia benar-benar gila melihat kakaknya itu. Salsha menghela napas panjang. Entah bagaimana lagi caranya menghentikan penderitaan kakaknya.
Kakaknya selalu saja memikirkan gadis tidak tahu malu itu. Gadis yang tiba-tiba saja menghilang dan meninggalkan kakaknya begitu saja. Salsha menghela napas panjang. Memangnya gadis itu siapa? Dengan tidak punya perasaan meninggalkan kakaknya dan membuat kakaknya hampir gila. Apa dia pikir dia itu dewi? Bidadari? Atau putri kerajaan? Seenaknya saja membuat kakaknya sakit hati seperti itu.
Salsha tersentak ketika ponselnya berdering. Dengan cepat ia mengambil ponselnya dari tas dan menjawab telepon.
"Halo, ibu?" Katanya ketika sudah menempelkan ponsel ke telinga dan mengetahui siapa yang meneleponnya.
"Salsha, bagaimana? Apakah ada perkembangan pada kakakmu?" Tanya ibunya
Salsha menghela napas, "seperti biasa ibu, ia selalu melamun dan hanya melamun."
"Kau sudah mencobanya untuk melupakan gadis itu?"
"Sudah ibu, aku sudah mencobanya. Tapi itu semua hanya di anggap angin lalu oleh dirinya. Ia sama sekali tidak menggubris ku."
Salsha bisa mendengar ibunya menghela napas khawatir di seberang sana. Ibunya selalu mengkhawatirkan kakaknya itu sejak empat tahun lalu. Sejak kejadian itu menimpa kakaknya.
"Mungkin membuatnya melupakan gadis itu tidak akan mungkin. Kau harus bisa menemukan gadis itu Salsha, kau harus menemukan gadis itu untuk kakakmu."
Salsha memejamkan matanya sejenak. "Baiklah ibu, aku akan berusaha menemukan gadis itu untuk kakak."

Bersambung ...

Cerbung Aliando dan Prilly "Second Meeting" All Part>TAMAT<

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Advertisement

search
Kontak · Privasi · Tentang
© 2015 Cerbung Romantis. Template oleh Naskah Drama. ke Atas