"Aku mencintainya" Salsha menundukan kepalanya, tak berani menatap mata elang pria didepannya.
"Dia sudah melakukannya" Sejurus kemudian pria didepannya langsung membelalakan matanya. Mendengar pernyataan dengan ucapan Salsha, pria itu langsung bangkit berdiri, tak lupa menarik pergelangan tangan Salsha dan membawanya keluar dari Kafe.
Salsha tidak tahu dirinya akan dibawa kemana oleh pria disampingnya. Pria itu masih saja fokus pada jalanan dengan kilatan emosi yang terpancar dari raut wajahnya. Bahkan Salsha mengeratkan pegangannya pada sabuk pengaman ketika pria itu kembali menancapkan pedal gas mobilnya. Salsha memandang takut pria di sampingnya, ia tahu bahwa pria itu sangat kecewa—mungkin benci kepadanya setelah mendengar alasan mengapa dirinya ingin meminta hubungannya dengan pria disampingnya itu berakhir.
Tak selang beberapa menit, mobil lamborghini itu berhenti tepat didepan pekarangan rumah yang sangat minimalis. Salsha langsung mengelus dadanya, mengingat bahwa pria itu tidak membawanya ke tepi jurang atau tempat-tempat menyeramkan lainnya. Pria itu langsung turun dari mobilnya dan langsung membuka pintu mobil Salsha. Kembali lagi, pria itu terus saja menyeret Salsha walaupun Salsha sama sekali tidak memberontak.
'Brukk'
Salsha merasakan tubuhnya terjatuh pada tempat tidur ukuran king size milik Aliando—nama pria itu. Aliando tampak frustasi dan langsung mengacak-acak rambut hitamnya.
"Buktikan"
"Buktikan jika kau dengan pria itu sudah melakukannya" Ucapan Aliando terdengar sangat tolol bagi siapapun yang mendengarnya. Begitu pun dengan Salsha, gadis itu membelalakan matanya dan menyilangkan tangannya didepan dadanya.
"Kau gila!" Sentak Salsha yang tidak habis fikir dengan Pria didepannya. Mungkin kah Aliando sudah tidak waras? Atau pria itu memiliki kelainan yang lain?
Aliando tertawa sinis kemudian menatap Salsha dengan tajam, "Kau bahkan bisa menyebutku gila setelah apa yang kau lakukan dibelakang ku?" Aliando mulai mendekati Salsha, membuat Salsha ingin beranjak dari tempat tidurnya namun berkat dorongan Aliando menyebabkan Salsha kembali terjatuh pada hempasan kasur.
"Siapa dia?" Aliando mencekal kedua pergelangan tangan Salsha yang berada dibawahnya. Sementara Salsha hanya menggeleng kuat seiring dengan keringat yang membasahi kening hingga pelipisnya.
"Jawab aku!"
Salsha memejamkan matanya saat Aliando berteriak tepat didepan wajahnya. Ia bisa merasakan bahwa sejuta bahkan milyaran emosi yang tersalur dari cekalan erat tangan Aliando.
"Di-dia sahabat mu" cicitnya pelan.
Aliando bangkit dari atas tubuh Salsha, ia mengerang kesal. Sungguh, pernyataan Salsha yang sudah melakukan hubungan membuat hatinya hancur. Ditambah dengan siapa yang telah melakukannya ini pada gadis yang dicintainya, sahabatnya sendiri. Aliando tahu betul siapa orang yang dimaksud Salsha. Karena Aliando hanya mempunyai sahabat satu-satu nya, siapa lagi jika bukan—
'Prangggg'
Salsha menjerit kuat saat dengan tiba-tiba Aliando menghempaskan seluruh minuman alkoholnya pada dasar lantai. Tindakan Aliando saat ini sangat membahayakan dan membuat Salsha semakin ketakutan. Pria itu berdiri dengan nafas terengah-engah.
"Aku tau pria brengsek itu akan melakukannya! Dan mulai detik ini juga aku akan membunuhnya!"
"Jangan!" Salsha cepat-cepat menghampiri Aliando dan bertekuk lutut dibawah kakinya.
"Kumohon jangan"
Aliando menaikan sebelah alisnya, "Setelah apa yang dia lakukan kepadamu, kau masih saja mengharapkannya?" Sinis Aliando.
"Lepaskan aku dan aku akan membunuh pria brengsek itu!" Aliando langsung melepaskan tangan Salsha pada kakinya dan berjalan menjauh darinya. Namun perkataan Salsha yang tiba-tiba terlontar membuat langkahnya terpaksa berhenti.
"Dia menghamiliku" isaknya, "Aku mengandung anak Karel"
Demi buah mangga jatuh dari pohonnya, Aliando merasakan bahwa tubuhnya limbun. Darahnya berhenti berdesir, bahkan ia rasa seluruh otak sarafnya berhenti bekerja. Ia merosot dibalik pintu kamarnya sembari menjambak rambutnya kuat-kuat. Sementara Salsha, gadis itu hanya menangis terisak-isak.
——oOo——
"Selamat sore. Esok pagi aku akan kembali bekerja" gadis itu langsung membungkukkan badannya sembilan puluh derajat ketika sudah berada diujung pintu.
Langkahnya terkesan ceria, tanpa ada garis kelelahan dalam wajahnya. Hidupnya memang tidak ada yang spesial, bekerja paruh waktu sebagai pelayan kafe dan kembali pulang untuk menemui ibunya dirumah. Walaupun dengan begitu Prilly tak pernah merasa bosan dengan takdir yang sudah menentukannya hidup seperti ini. Ia harus mensyukuri bahwa didunia ini ia masih memiliki seorang ibu yang sangat menyayanginya.
Prilly menaiki salah satu bus yang menjadi kendaraan setiap pulang atau berangkat kerjanya. Ia duduk di jok paling belakang bagian bus seraya menatap suasana jalanan dari balik kaca jendelanya. Seutas senyum terukir mengingat bahwa saat ini ia sudah menerima gaji pertamanya. Dan dengan begitu ia bisa membelikan beberapa resep obat untuk ibunya.
Bus berhenti ketika mendapat respon dari Prilly. Prilly mengedarkan pandangannya setelah bus itu benar-benar pergi. Dilihatnya sebuah toko yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil yang berada di persimpangan jalan. Prilly langsung memasuki apotek tersebut.
"Permisi apa kau memiliki obat seperti ini?" Tanya Prilly sambil menyerahkan kertas berisikan nama resep obat kepada penjaga toko tersebut. Namun belum sempat penjaga toko itu menjawabnya, seseorang datang menyerobotnya.
"Berikan aku obat luka" perempuan itu terlihat tergesa-gesa. Sadar akan pandangan Prilly ke arahnya, perempuan itu membalas tatapan Prilly.
"Maaf aku mendahuluimu, tapi ini sangat darurat" Prilly mengangguk setelah perempuan itu menyerahkan beberapa lembaran kertas.
"Nona, ini kembalian mu" penjaga toko itu berteriak. Namun sial, perempuan itu sudah terlanjur menghilang dari balik pintu. Prilly yang setengah sadar langsung mengambil lembaran kertas dari tangan penjaga toko itu.
"Biarkan aku yang memberinya" melihat anggukan penjaga toko itu, Prilly segera keluar dari apotek. Sesampainya diluar, Prilly mengedarkan pandangannya dan berhenti pada sosok perempuan tadi yang tengah memunguti barang yang dibelinya tadi.
"Bisa ku bantu?" Tak melihat respon apa-apa, Prilly langsung membantu perempuan disampingnya.
"Terimakasih. Kau baik sekali" Prilly hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan perempuan didepannya. Perempuan itu kembali berjalan meninggalkan Prilly. Namun sedetik kemudian teriakan Prilly membuat perempuan itu menoleh kepadanya.
"Kau melupakan ini di apotek" Prilly menyerahkan selembaran uang kertas kepada perempuan didepannya.
Perempuan itu mengambil pemberian Prilly seraya memberikan senyuman manisnya, "Terimakasih"
"Sepertinya kau memiliki masalah" Ucap Prilly ragu-ragu.
"Ah, tak seharusnya aku berbicara seperti itu" lirih Prilly ketika melihat perubahan raut wajah perempuan didepanya.
"Tidak, tidak apa-apa" dengan cepat perempuan itu mengibaskan kedua tangannya.
"Namaku Salshabilla Adriani" perempuan itu mengulurkan tangannya.
"Aku Prilly Latuconsina" balas Prilly menerima uluran tangan Salsha.
"Ma-maaf Prilly, sungguh saat ini aku sedang terburu-buru. Tidak apa kan jika aku meninggalkanmu?"
Prilly mengangguk seraya tersenyum manis, "ya, pergilah. Senang bertemu dengan mu Salsha" ucap Prilly setengah berteriak sembari melambaikan tangannya kearah Salsha yang mulai memasuki mobilnya.
Setelah kepergian Salsha, Prilly kembali berjalan memasuki apotek untuk membeli obat ibunya yang sempat tertunda karena kedatangan Salsha.
Setelah kepergian Salsha, Prilly kembali berjalan memasuki apotek untuk membeli obat ibunya yang sempat tertunda karena kedatangan Salsha.
——oOo——
Salsha membuka pintu rumah Aliando dengan tak sabaran. Wajahnya terlihat panik bercampur cemas. Kakinya mengayun ke arah sosok pria yang tengah berbaring dengan bercak darah yang mengalir dari pergelangan tangannya. Beberapa menit lalu setelah Salsha memberitahu Aliando tentang dirinya tengah mengandung anak dari Karel. Aliando langsung melakukan tindakan bodoh dengan melukai dirinya sendiri, bahkan hingga tangannya mengeluarkan banyak darah karena pria itu terlalu erat memegang pecahan alkohol.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Salsha dengan nada khawatir. Tangannya mulai membersihkan darah disekujur pergelangan tangan Aliando mengenakan handuk kecil yang sudah dimasukan kedalam air hangat.
Aliando sedikit meringis ketika gerakan Salsha mengenai luka irisannya. Pria itu menatap lekat setiap inci wajah Salsha. Wajah itu terlihat cantik meskipun beberapa lingkaran hitam berada dibawah kelopak matanya. Dan Salsha tetaplah gadis yang cantik dimata Aliando. Karena dirinya sangat mencintai Salsha. Namun sekarang? Salsha bukan kekasihnya dan Salsha adalah milik Karel—sahabatnya.
"Kau selalu seperti ini. Ceroboh dalam melakukan segala hal" Entahlah mendengar ocehan Salsha membuat seulas senyum Aliando mengembang. Aliando rindu disaat Salsha mengomelinya, seperti dulu. Disaat mereka masih menjadi sepasang kekasih.
"Jangan tinggalkan aku" Lirih Aliando pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. Namun ucapannya masih bisa didengar oleh Salsha. Sejenak Salsha berhenti mengobati luka Aliando namun dirinya kembali melanjutkan aktifitas seperti biasanya.
Melihat ucapannya diabaikan, Aliando menjadi kesal dan menarik tangannya dari Salsha. Salsha berdecak melihat tingkah kekanakan Aliando. "Aku belum selesai mengobatimu Aliando"
"Kau mengabaikan ucapanku!"
"Ucapanmu? Yang mana? Aku tidak tahu" Aliando mendesis pelan, perempuan ini masih saja menepisnya?
"Jangan sekalipun tinggalkan aku!" Ulang Aliando. Salsha terdiam dan kembali melanjutkan mengobati Aliando. Ia tak mengerti dengan ucapan Aliando, apakah pria itu memintanya atau memaksanya?
"Sudah kedua kalinya kau mengabaikan ucapanku"
"Lalu bagaimana dengan anak ini?" Tanya Salsha menatap Aliando.
"Aku yang akan bertanggung jawab" jawab Aliando dengan mantap
"Tidak. Itu tidak semudah yang kau bayangkan Ali!" Salsha menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Apa kau tidak mencintaiku lagi?" Ucap Aliando dengan nada sarkastis. Salsha kembali menggelengkan kepalanya. Aliando tidak akan pernah mengerti jika dirinya menerima Aliando yang akan bertanggung jawab atas semua yang dilakukan Karel terhadapnya. Ia tidak ingin mengambil resiko atas keputusannya.
"Bu-bukan begitu" Salsha menepis ucapan Aliando.
"Ak-aku hanya"
"Sudahlah, lebih baik kau istirahat saja. Luka mu sudah ku perban. Soal pecahan botol itu, biar aku yang memanggil asisten rumah mu untuk membersihkannya." Salsha mulai beranjak berdiri ketika sudah selesai mengobati tangan Aliando. Sebelum benar-benar keluar dari rumah Aliando, Salsha membalikan badannya ke arah Aliando.
"Aku pulang dulu. Dan mungkin pertemuan kita saat ini adalah pertemuan terakhir kita"
Rasanya Aliando ingin menarik dan mendekap tubuh Salsha kedalam tubuhnya. Ada perasaan tak rela saat Salsha pergi dari hadapannya. Entahlah, apakah cinta Aliando begitu besar terhadap Salsha sehingg pria itu tidak sanggup melepaskannya? Mungkin hanya hati Aliando yang mengetahui perasaan yang dialaminya sekarang.
——oOo——
Prilly berlari ke arah Halte ketika rintikan air dari langit mengenai wajahnya. Dan dalam sekejap mata, jalanan ini sudah diguyur hujan dengan deras. Suasana begitu sangat sepi, tak ada satupun orang bahkan kendaraan yang berlalu lalang didepannya. Bahkan jika Prilly lihat, suasana seperti ini mirip seperti adegan di film horor atau film psikopat. Sangat menakutkan.
Hembusan angin menerpa kulit leher Prilly yang telanjang. Mengingat bahwa hari sudah mulai gelap, Prilly harus segera pulang. Namun sialnya, ia sama sekali tidak membawa perlindungan hujan seperti payung atau semacamnya. Dan tidak mungkin jika dirinya terpaksa menerobos ribuan hujan tersebut.
"Hei nona manis" Prilly sedikit tersentak saat sebuah suara mengarah kepadanya. Dilihatnya seorang pria berpenampilan brandalan menghampiri Prilly. Melihat itu Prilly langsung meletakan tas selempangnya didepan dada.
"Ikutlah dengan ku"
"Ya! Jangan menyentuhku!" Gertak Prilly kasar.
"Ck, ternyata kau berani juga"
"Aaaaa..."
'Bugh bagh bugh'
Prilly membuka kedua kelopak matanya ketika mendengar suara orang yang saling memukul. Dilihatnya pria brandalan itu sudah berlari menjauh. Dan untunglah, dirinya masih bisa selamat.
"Kau baik-baik saja?" Pria dengan kemeja hitam itu menghampiri Prilly yang masih shock. Prilly sedikit terperanjat disaat pria itu memegang pundak kirinya.
"Aa—aku baik-baik saja. Terimakasih sudah menolongku" Prilly menundukan badannya beberapa kali
"Kau sedang apa disini? Tidak baik jika seorang gadis berada diluaran disaat waktu hampir malam" tanya Pria itu yang ikut duduk disamping Prilly.
Tanpa menoleh Prilly menjawab, "Aku sedang menunggu hujan berhenti. Tapi hujan semakin besar saja, dan itu membuatku terjebak disini"
"Kau tidak pulang?"
"Kau sudah lihat bukan, jika tak ada satu pun kendaraan yang melintas disini" Prilly berdecak sebal.
"Mau ku antar?" Dengan cepat Prilly langsung menoleh ke arah pria disampingnya.
"Tidak usah. Kita baru saja bertemu dan aku takut jika kau berniat—"
Pria itu terkekeh ringan dan membalas tatapan Prilly, "Tenang saja, aku pria baik-baik. Aku tidak berniat jahat kepadamu"
"Ayolah, aku berani bersumpah jik—" belum sampai pria itu menyelesaikan ucapannya, Prilly langsung memotongnya begitu saja.
"Baiklah aku terima tawaranmu. Dasar pemaksa" Prilly beranjak berdiri lalu berjalan. Namun sedetik kemudian langkahnya terhenti ketika menyadari Pria itu masih diam di posisinya
"Ya! Kau mau mengantarku tidak?!"
Pria itu langsung tersentak mendengar sentakan Prilly. Kakinya melangkah berjalan sejajar dengan Prilly. Keduanya masuk kedalam mobil milik pria itu. Namun senyuman misterius itu mengembang dari bibir merah pria itu.
'Permainan ini akan di mulai'
Bersambung~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar